Kamis, 24 Juni 2010

Peran Eka Birokrasi

PERAN ETIKA BIROKRASI DALAM UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK



Oleh:

Dimas Ulung S (09311610)


Jurusan: PKN

Fakultas: FKIP

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2010



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokaatu….

Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah, yang telah melimpahkan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik, dan dengan maunahnya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini yang ber judul “PERAN ETIKA BIROKRASI DALAM UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK” tepat pada waktunya. Sholawat rserta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membebaskan kita dari jaman jahiliyah menuju jaman islamiyah, sehinggah kita dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya dan dapat mengarungi samudra kehidupan di dunia dengan jalan yang di ridhoi-Nya.

Akhirnya, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Drs. Sunarto A. TM. M.SI selaku dosen pembimbing, dan semua pihak yang membantu penyusunan makalah ini. Tentunya penyampaian pendapat dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga kami sangat mengharap saran dan kritik yang bersifat membangun guna tersusunnya makalah yang sempurna, yang dapat bermanfaat bagi kami dan bagi pembaca sekalian.

Wallahulmuwafiq ila aqwamithoriq

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu….

Ponorogo, 7 Juni 2010

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................... 1

B. PERMASALAHAN ............................................................................................... 1

BAB II

PEMBAHASAN

A.KONSEP ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK........................................................ 2

B. PARADIGMA ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK................................................ 3

C. ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK.................................................. 6

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN dan SARAN ............................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

. Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan masyarakat (publik) secara keseluruhan.

Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

B.Permasalahan

Birokrasi memang diharapkan berperan besar dalam pelaksanaan seluruh rencana negara yang telah diputuskan dalam kebijakan publik. Namun dalam praktek pemerintahan negara – peran birokrasi seringkali diragukan untuk dapat menghidupkan dan mendinamisasikan proses demokratisasi, karena sifat birokrasi manapun pasti tidak dinamis (Suseno, 1992). Bahkan Sutoro Eko (2003) menyatakan bahwa raksasa birokrasi Indonesia yang tidak bermutu, justru menjadi beban yang sangat berat bagi negara dan masyarakat. Birokrasi Indonesia adalah institusi yang lebih banyak menghabiskan ketimbang menghasilkan. Sebagai sarang korupsi dan pencurian, birokrasi adalah penyumbang terbesar krisis finansial negara. Benar-benar sebuah ironi yang konyol kalau negara menderita krisis tetapi para pengelolanya bisa hidup kaya dan mewah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik

Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak yang diberi tanggung jawab.

Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pemikiran tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994). Leys mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada.

Pada sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu point baru, bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani. Kemudian pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut. Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.

C. Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik

Menurut Fadillah (2001) etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Oleh sebab itu maka etika mempersoalkan ”baik-buruk”, dan bukan ”benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi publik. Dalam paradigma ”dikotomi politik dan administrasi” sebagaimana dijelaskan oleh Wilson (dalam Widodo, 2001) menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.

Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi publik. Namun karena administrasi publik dalam menjalankan kebijakan politik tadi memiliki kewenangan secara umum disebut ”discretionary power”, keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara ”baik dan tidak secara buruk” ? Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan tersebut dapat dikatakan baik atau buruk.

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995).

Hummel (dalam Widodo, 2001) mengatakan bahwa birokrasi sebagai bentuk organisasi yang ideal telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai dan etika yang berpusat pada manusia. Sementara itu Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa birokrasi melenceng dari keadaan yang seharusnya. Birokrasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi publik. Sementara itu pemahaman mengenai pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari pelayanan publik adalah demi mensejahterakan masyarakat. Dalam kaitan itu maka Widodo (2001) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang banyak atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi publik sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditentukan.

Sehubungan dengan hal tersebut Thoha (1998) mengatakan bahwa kondisi masyarakat saat ini terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat. Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dala memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kkuasaan berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1998).

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri.

Selanjutnya pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah. Ciri-cirinya adalah :

(1) efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.

(2) sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

(3) kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : (a) prosedur dan tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

(4) keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.

(5) efisiensi, mengandung arti : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk layanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

(6) ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

(7) responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani. dan

(8) adaptif, adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami perkembangan.

D. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik

Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Birokrasi merupakan sebuah sistem, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk terus berbuat bertambah baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big bureaucracy, giant bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan demikian maka etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.

Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah :

(1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien.

(2) membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.

(3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan.

(4) merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya).

(5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

(6) accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).

(7) responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu atau memperpanjang alur pelayanan.

Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam melaksanakan tugas da kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi (penyelewengan).

Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.

Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN dan SARAN

Etika birokrasi mempunyai dua fungsi, pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji..

etika dalam konteks birokrasi sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.

Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.

Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita berada.. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.

Akhirnya, kalau saja birokrasi tidak berhasil menjalankan misi utamanya sebagai pelayan masyarakat, maka bukan hanya citra birokrasi yang tercemar, melainkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai inipun akan menjadi taruhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Danin, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kwalitatif Ancangan Metodelogi: Presentasi, Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial. Pendidikan, dan Humaniora. Pustaka Setia, Bandung

Gafar, Afan. 2000. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gie, The Liang. 1986. Etika pemerintahan. Yayasan Obor, Jakarta.

Indrawijaya, I. Adam. 2000. Perilaku Organisasi. Sinar Baru Algendsindo, Bandung.

Faisal, Sanapiah. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Raja Grafindi Persada, Jakarta.

MANIFESTO. wacana kiri “Pelatihan Kader Dasar PMII 2008”


PERANAN ANGGOTA DPRD-I DALAM KEHIDUPAN POLITIK INDONESIA

Oleh

DIMAS ULUNG SETIAWAN (09311610)

Jurusan: PKN

Fakultas: FKIP

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO 2010

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokaatu….

Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah, yang telah melimpahkan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik, dan dengan maunahnya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini yang ber judul “PERAN ANGGOTA DPRD TK-I DALAM KEHIDUPAN POLITIK INDONESIA” sebagai tugas mata kuliah Sistem Politik Indonesia, tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membebaskan kita dari jaman jahiliyah menuju jaman islamiyah, sehinggah kita dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya dan dapat mengarungi samudra kehidupan di dunia dengan jalan yang di ridhoi-Nya.

Akhirnya, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Drs. H. Sulton, M.Si. selaku dosen pembimbing, dan semua pihak yang membantu penyusunan makalah ini. Tentunya penyampaian pendapat dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga saya sangat mengharap saran dan kritik yang bersifat membangun guna tersusunnya makalah yang sempurna, yang dapat bermanfaat bagi saya dan bagi pembaca sekalian.

Wallahulmuwafiq ila aqwamithoriq

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu….

Ponorogo, 16 Juni 2010

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG 1

BAB II PEMBAHASAN

A. DPRD I ........................................................................................................... 3

B. UU No 4 Tahun 1999......................................................................................................... 3

C. Fungsi DPRD I ........................................................................................................... 9

D. Tugas dan Wewenang DPRD I........................................................................................... 10

E. Hak dan Kewajiban DPRD I............................................................................................... 10

F. Peran DPRD I ........................................................................................................... 12

G. Peran DPRD I dalam Realitas............................................................................................. 13

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ........................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 21


LATAR BELAKANG

Bagi seorang politisi dan aktivis partai politik, keterpilihannya sebagai anggota parlemen, termasuk di tingkat parlemen lokal (DPRD) baik di tingkat I (Provinsi) maupun di tingkat II (Kota/Kabupaten), menjadi bagian penting dalam tahapan politik yang dicita-citakannya. Partai politik sendiri dibentuk salah satunya adalah untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan dimaksud kelak digunakan sebagai instrumen penting dan strategis untuk membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan untuk melakukan dominasi, membangun gengsi, dan memperkaya diri.

Pembelaan dan perjuangan untuk rakyat tersebut pada dasarnya merupakan derivasi dari ideologi serta visi dan program partai politik. Karena itu, setiap anggota parlemen dituntut untuk selalu menjadikan ideologi, visi, dan program partainya sebagai acuan dalam mengartikulasikan kepentingan dan penderitaan rakyat yang diwakilinya. Dan, pada saat kampanye yang “dijual” oleh para caleg tidak lain adalah ideologi, visi, dan program partai. Maka ketika terpilih, apa yang “dijual” dan dijanjikannya itu mestilah berusaha ditepati dan diwujudkan. Jika tidak, para politisi bukan hanya membohongi rakyat tetapi juga mengkhianati ideologi, visi, dan program partai mereka.

Oleh karena itu peran rakyat dalam menuntut tanggungjawab sang wakil yang telah dipilih rakyat sangatlah penting dalam menjalankan roda pemerintahan Indonesia demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab. Slogan yang menyatakan “bertanggungjawab langsung kepada rakyat” sesungguhnya sangat abstrak. Karena pola relasi yang tidak jelas antara rakyat dan wakil rakyat mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dengan ketidak jelasan mekanisme pertanggung jawaban pada rakyat dan juga kurangnya informasi mengenai fungsi, tugas, dan wewenang wakil rakyat memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan wakil rakyat yang telah dipilih rakyat. Maka dari itu informasi mengenai apa itu wakil rakyat, apa fungsi, tugas, kewenangan, hak dan kewajiban wakil rakyat sangatlah penting bagi masyarakat agar rakyat mau dan mampu berperan dalam menuntut tanggung jawab wakil rakyat yang telah mereka pilih.

BAB II PEMBAHASAN

A. DPRD TK-1

DPRD tingkat I (provinsi) Adalah lembaga legislatif yang mewakili rakyat di tingkat provinsi dalam mengawasi pemerintah daerah (provinsi) dalam menjalankan tugas.

B. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1999 (Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

BAB IV

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I

Bagian Pertama

Susunan

Pasal 18

1. Pengisian anggota DPRD I dilakukan berdasarkan Pemilihan Umum dan
pengangkatan.

2. DPRD I Terdiri atas:

a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum
b. anggota ABRI yang diangkat

3. Jumlah Anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan
sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang
diangkat

Bagian Kedua

Keanggotaan

Pasal 19

1. Untuk dapat menjadi anggota DPRD I, seseorang harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud pasal 3 ayat 91)
2. Anggota DPRD I harus bertempat tinggal di dalam wilayah daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
3. Keanggotaan DPRD I diresmikan secara administrasi dengan Keputusan
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Kepala Negara.

Pasal 20

Masa Keanggotaan DPRD I adalah 5 tahun dan berakhir bersama-sama pada
saat anggota DPRDI yang mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 21

1. Anggota DPRD I berhenti antar waktu sebagai anggota karena:

a. meninggal dunia
b. permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPRD I;
c. bertempat tinggal di luar wilayah daerah Tingkat I yang
bersangkutan;
d. tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal
3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;
e. dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai anggota DPRD I;
f. terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud
pasal 41 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
g. diganti menurut pasal 42 undang-undang ini.

2. Anggota DPRD I yang berhenti antar waktu sebagaimana yang dimaksud
ayat (1) digantikan oleh:

a. calon yang diusulkan Dewan Pimpinan Partai Politik di Daerah
Tingkat I yang bersangkutan yang diambil dari daftar calon tetap
wakil partai politik dari daerah pemilihan yang sama;
b. calon yang diajukan oleh Pimpinan ABRI bagi anggota DPRD I yang
berasal dari ABRI.

3. Anggota pengganti antarwaktu menyelesaikan masa kerja anggota yang
digantikannya.
4. Pemberhentian anggota DPRD I diresmikan secara administrasi dengan
Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden sebagai Kepala
negara.
5. Pemberhentian anggota karena tidak memenuhi lagi syarat
sebagaimana yang dimaksud pasal 3 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
e, dan/atau huruf f, dan/atau karena yang bersangkutan melanggar
sumpah/janji anggota DPRD I sebagaimana yang dimaksud Pasal 23,
dan/atau diberhentikan menurut Pasal 42 undang-undang ini adalah
pemberhentian dengan tidak hormat.

Pasal 22

1. Sebelum memangku jabatannya anggota DPRD I bersumpah/berjanji
bersama-sama, yang pengucapannya dipandu oleh Ketua Pengadilan
Tinggi dalam Rapat Paripurna untuk peresmian anggota yang dihadiri
oleh anggota-anggota yang sudah ditetapkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta dipimpin oleh anggota tertua
dan termuda usianya.
2. Ketua DPRD I atau Anggota Pimpinan yang lain memandu pengucapan
sumpah/janji anggota yang belum bersumpah/berjanji sebagaimana
yang dimaksud ayat (1)
3. Tata cara pengucapan sumpah/janji diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPRD I.

Pasal 23

Bunyi sumpah/janji sebagaimana ayng dimaksud pasal 22 adalah sebagai
berikut:

"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi
kewajiban saya sebagai anggota (Ketua/wakil Ketua) Dewan Perwakilan
Daerah Tingkat I dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;

bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;

bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada
bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia".

Bagian Ketiga

Pimpinan DPRD I

Pasal 24

1. Pimpinan DPRD I bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan
sebanyak-banyaknya tIga orang Wakil Ketua yang mencerminkan
fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi;
2. Selama Pimpinan DPRD I belum terbentuk, rapat-rapatnya untuk
sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dibantu
oleh anggota termuda usianya;
3. Dalam hal anggota yang tertua dan/atau yang termuda usianya
sebagaimana yang dimaskud ayat 92) berhalangan, sebagai
penggantinya adalah anggota yang tertua dan/atau termuda usianya
diantara yang ahdir dalam rapat tersebut;
4. Tata cara pemilihan Pimpinan DPRD I diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPRD I.

C. Fungsi DPRD I

Fungsi DPRD I menurut UU 32/2004

1. Fungsi Legislasi

Fungsi Legislasi adalah kewenangan pembuatan Peraturan Daerah (Perda), yaitu menginisiasi lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Raperda yang diusulkan oleh Gubernur.

2. Fungsi Anggaran

Fungsi Anggaran adalah kewenangan menyetujui atau menolak dan menetapkan RAPBD menjadi APBD, melalui proses pembahasan Arah Kebijakan Umum, pembahasan rancangan APBD yang diajukan oleh Gubernur, dan menerapkan Perda tentang APBD.

3. Fungsi Pengawasan

Fungsi Pengawasan adalah kewenangan dewan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

D. Tugas danWewenang DPRD I

1. Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapast persetujuan bersama.

2. Menetapkan APBD bersama dengan Gebernur.

3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintahan daerahdalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.

4. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil gubernur kepada presiden melalui mentri dalam negri.

5. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah.

6. meminta laporan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksaan tugas desentralisasi.

E. Hak dan Kewajiban DPRD I

DPRD I Mempunyai Hak dan kewajiban Interpelasi, Angket, dan menyatakan pendapat.

Anggota DPRD I mempunyai Hak:

1. Mengajukan rancangan peraturan daerah

2. Mengajukan pertanyaan

3. Menyampaikan usul dan pendapat

4. Memilih dan dipilih

5. Membela diri.

6. Imunitas.

7. Protokoler.

8. keuangan dan administrative.

Anggota DPRD I mempunyai kewajiban:

1. Mengamalkan Pancasila

2. Melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan

3. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi

4. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat

5. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara kesatuan republik Indonesia dan daerah

6. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah (Provinsi)

7. Mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi kelompok dan golongan

8. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.

9. Menaati kode etik dan tata tertib DPRD

menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga terkait

Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD I berhak untuk:

1. meminta pejabat negara tingkat provinsi, pejabat pemerintahan tingkat provinsi, badan hokum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan Negara.

2. Setiap pejabat Negara, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPRD sebagaimana dimaksud diatas

3. Setiap pejabat Negara, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, dikenakan panggilan paksa dengan peraturan perundang-undangan

4. dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud diatastidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. dalam hal pejabat yang disan dera sebagaimana dimaksud diatas, habis masa jabatannyaatau berhenti dari jabatannyayang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.

F. Peran DPRD I

Anggota DPRD I secara aktif terlibat dalam penyusunan peraturan daerah provinsi, tidak hanya menyetujui draf yang dipersiapkan oleh pemerintah, dan memainkan peran penting dalam proses penganggaran daerah provinsi. Pemerintah daerah provinsi berkonsultasi dengan DPRD I mengenai keputusan-keputusan kebijakan yang penting dan DPRD I secara aktif mengambil bagian dalam perencanaan untuk pengembangan ekonomi dan masyarakat di daerahnya. Melalui pemilihan umum yang jujur dan adil. dan masyarakat memiliki harapan yang tinggi terhadap lembaga ini.

G. Peran DPRD I Dalam Realitas

Gambaran diatas merupakan hanya sederet peraturan yang disepakati oleh wakil rakyat terdahulu yang diharapkan akan dijalankan sebagaimana mestinya, dan juga mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik. Namun realita yang ada hanya angan-angan dan jauh dari apa yang diharapkan.

Parlemen sesungguhnya adalah lembaga pengabdian, bukan lembaga profesi, dan bukan pula lembaga tempat mencari keuntungan pribadi. Setiap politisi yang menjadi anggota lembaga terhormat itu pada dasarnya adalah figur-figur yang berkomitmen menyiapkan diri dan sanggup memberikan pengabdian terbaik kepada rakyat yang diwakilinya.

Dalam rangka itu tentu tidak cukup dengan hanya semangat pengabdian, tetapi harus diikuti pula dengan kemampuan yang memadai untuk memahami dengan baik, tepat, dan objektif realitas masyarakat konstituen. Masalah-masalah yang membelit masyarakat seperti kemiskinan struktural, pengangguran yang terus bertambah, biaya pendidikan yang semakin mahal, tindak kriminalitas yang semakin merajalela, kelangkaan pupuk bagi petani, perusakan lingkungan, infrastruktur yang hancur, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya. Selain itu, masyarakat seringkali juga tak berdaya menghadapi perilaku birokrasi yang korup dengan tingkat pelayanan yang buruk, dan kegemaran elite kekuasaan menjual aset-aset berharga seperti tanah, gedung, dan lain-lain.

Wakil rakyat yang baik dituntut kepekaannya untuk memahami realitas sosial tersebut untuk kemudian berupaya keras turut mengatasinya dengan cara mempengaruhi secara langsung pengambilan keputusan politik menyangkut kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, anggota parlemen daerah yang memiliki kewenangan formal berhak dan berpeluang mengarahkan berbagai keputusan politik di parlemen untuk selalu diorientasikan dalam rangka membebaskan masyarakat konstituen dari masalah-masalah yang membelit kehidupan mereka selama ini.

telah bertumpuk Ada derita dan ketertindasan dalam masyarakat kita yang sudah mengendap lama. Ia dan campur aduk paduan berbagai dimensi sehingga membentuk struktur tersendiri dalam sosok masyarakat marginal. Masyarakat yang memahami dan menemukan dirinya tidak merdeka terutama secara ekonomi. Mereka sulit merasakan keadilan secara hukum, dan kerapkali pula menjadi objek kebijakan elite kekuasaan serta “barang” jualan kaum politisi.

Itulah potret mayoritas masyarakat kita. Itulah pula yang mestinya menjadi pusat perhatian para wakil rakyat yang telah dilantik. Mereka menanti kiprah, realisasi janji, dan wujud perjuangan wakil-wakilnya di perlemen daerah. Dengan kata lain, masyarakat mengharapkan adanya perubahan. Perubahan yang dibawakan dan digerakkan oleh anggota-anggota parlemen melalui keputusan-keputusan politik yang memihak kepentingan rakyat, bukan yang sekadar memihak kepentingan kekuasaan dan pemilik modal. .

Seperti yang kita ketahui, parlemen daerah (provinsi) hasil Pemilu pada umumnya mengecewakan. Banyak sekali perilaku busuk dipertontonkan para wakil rakyat. Ada yang terlibat money politics, suap-menyuap, korupsi, dan bahkan tindak kriminal. Ada perilaku-perilaku yang menempatkan lembaga parlemen sebagai arena untuk mengejar keuntungan pribadi. Ada yang pura-pura vokal tetapi ujung-ujungnya ingin mendapatkan sentuhan amplop, fasilitas, dan jatah proyek tertentu.

Memang tidak semua anggota DPRD seperti itu. Masih ada yang baik dan bisa dipercaya di antara mereka. Tetapi mainstream perilaku di parlemen daerah selama ini berwajah buruk serta penuh basa-basi dan kepura-puraan. Sehingga tak heran jika suatu ketika sempat muncul, misalnya, terminologi “korupsi berjamaah”. Suatu tindak korupsi yang dilakukan ramai-ramai dan berdasarkan kesepakatan anggota-anggota parlemen. Kenyataan tersebut menutup dan menghalangi pandangan terhadap mereka yang masih bertahan dengan perilaku baik.

Perilaku buruk dan tidak mengenal etika telah merusak citra DPRD sebagai lembaga terhormat, tempat masyarakat mengadu derita dan menggantungkan harapan. Rusaknya citra parlemen membuat masyarakat kurang percaya terhadap negara, pemerintah, elite kekuasaan, dan kaum politisi. Jika hal ini terus berlanjut tentu akan membawa kerugian-kerugian, baik terhadap lembaga-lembaga politik seperti partai politik dan parlemen maupun terhadap masa depan demokrasi. Sungguh sangat berbahaya jika masyarakat tidak lagi percaya dengan lembaga demokrasi.

Hal ini, di satu sisi, menjadi tantangan yang harus dijawab, dihadapi, dan diantisipasi oleh parlemen. Artinya, di pundak semua anggota DPRD I yang terpilih ada tanggung jawab untuk memperbaiki dan mengembalikan citra pemerintahan daerah berikut membuatnya lebih fungsional bagi kepentingan rakyat banyak. Di sisi lain, hal itu juga memberi isyarat agar kekuatan-kekuaan civil society memperkuat dan memperketat kontrol sosial terhadap parlemen daerah.

Tanpa kontrol sosial yang kuat besar kemungkinan perilaku buruk parlemen seperti yang terjadi dalam periode sebelumnya kembali terulang. Karena itu, kekuatan-kekuatan civil society seperti media massa, organisasi nonpemerintah, mahasiswa, kaum inteletual, kelompok-kelompok keagamaan, dan kalangan kelas menengah, tidak surut langkah dan tetap bersemangat melakukan kontrol terhadap lembaga parlemen daerah.

Betapa pun citra parlemen masih buruk, namun api optimisme akan perubahan haruslah tetap dinyalakan. Kendati kecil, harapan itu masih ada. Bahwa para wakil rakyat yang terhormat masih punya setitik idealisme untuk membawa dan menyuarakan perubahan bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat.

Tugas pokok DPRD adalah menetapkan kebijaksanaan daerah maupun APBD sehingga dari tugas pokok tersebut dapat merealisasikan fungsinya dengan baik. Dengan sendirinya mutu atau kualitas anggota wakil rakyat daerah sangat menentukannya. Menurut Jossef Riwu Kaho dalam bukunya "Prospek Otda di NKRI (71 : 1984)" menyebutkan, penyusunan kebijaksanaan daerah yang tepat sangat tergantung pada kecakapan prakarsa anggota DPRD untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi rakyat daerah setempat. Ternyata teori tersebut tidaklah seindah dengan apa yang terjadi dengan realitas peran pada anggota DPRD sekarang ini. Penyusunan kebijaksanaan daerah yang diperuntukan untuk masyarakat daerah hanya membuahkan hasil kecakapan prakarsa para anggota dewan untuk menyuburkan praktek penyimpangan korupsi, sehingga dari semuanya ini menimbulkan sebuah permasalahan baru, bukannya memecahkan masalah untuk rakyat. Realitas dari semua permasalahan yang dilakukan anggota dewan berimbas pada kebutuhan esensi masyarakat yang mendamba pelayanan. Tugas dan fungsi anggota dewan menjadi tidak tersusunnya rencana dan pelaksanaan pembangunan untuk pemerataan pendapatan masyarakat, pembangunan untuk peningkatan perluasan kesempatan kerja di daerah menjadi terhambat. Sejauh ini ada tiga anggapan yang selalu tampil pada setiap kali kita membicarakan fungsi DPRD itu sendiri. DPRD dianggap kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif bagi kepala daerah. Anggapan ini umumnya dianut oleh para pengamat politik yang cenderung menilai bahwa pertama peranan kepala daerah (eksekutif) terlalu dominan di dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kedua, DPRD dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas kepala daerah, sehingga cenderung menyimpang dari fungsi utamanya sebagai pemerintahan daerah yang menyelenggarakan fungsi legislatif. Ketiga, DPRD dianggap tidak memperoleh kesempatan yang seimbang dengan kepala daerah untuk ikut merumuskan kebijakan pemerintahan daerah. Anggapan ini umumnya hidup di kalangan anggota DPRD sendiri. Oleh karena itu untuk me-recover legitimasi UU No. 22, UU No. 25 Tahun 1999 dan PP No.25 Tahun 2000 sudah selayaknya berada dalam tanggung jawab pemerintahan di daerah khusus penyelenggaraan legislatif dan eksekutif di daerah. Sangatlah jelas, untuk ke depan, dibutuhkan kepeloporan dari calon presiden dan wakil presiden yang akan menjadi pemimpin pemerintahan Indonesia untuk meluncurkan kebijakan-kebijakan yang konsisten terhadap permasalahan "pemberantasan korupsi" dengan orientasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan semangat reformasi untuk sebuah kesejahteraan masyarakat daerah.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

DPRD tingkat I (provinsi) Adalah lembaga legislatif yang mewakili rakyat di tingkat provinsi dalam mengawasi pemerintah daerah (provinsi) dalam menjalankan tugas.

Anggota DPRD I mempunyai hak yaitu:

1. Hak Interpelasi

Hak DPRD I untuk meminta keterangan kepada pemerintah Provinsi mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2. Hak Angket

Hak DPRD I untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah Provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Hak Menyatakan Pendapat

Hak DPRD I untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah Provinsi atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah provinsi disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Gubernur dan/atau Wakil Gubernur melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

4.Hak Imunitas/Kekebalan

Anggota DPRD tingkat I tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPRD provinsi, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga.

Namun pada kenyataannya anggota DPRD I tidak semuanya memaksimalkan fungsi dan hak yang dimilikinya untuk mensejahterakan rakyat atau memenuhi janji atau visi misi yang


DPRD mempunyai 3 fungi penting yaitu:

1. Fungsi Legislasi

Fungsi Legislasi adalah kewenangan pembuatan Peraturan Daerah (Perda), yaitu menginisiasi lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Raperda yang diusulkan oleh Gubernur.

2. Fungsi Anggaran

Fungsi Anggaran adalah kewenangan menyetujui atau menolak dan menetapkan RAPBD menjadi APBD, melalui proses pembahasan Arah Kebijakan Umum, pembahasan rancangan APBD yang diajukan oleh Gubernur, dan menerapkan Perda tentang APBD.

3. Fungsi Pengawasan

Fungsi Pengawasan adalah kewenangan dewan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

Jika dilihat dari fungsi dan juga haknya, anggota DPRD I mempunyai peran yang sangat penting terhadap perkembangan masyarakat ditingkat provinsi, namun Tanpa kontrol sosial yang kuat, besar kemungkinan perilaku buruk anggota DPRD I akan terjadi. Karena itu, kekuatan-kekuatan civil society seperti media massa, organisasi nonpemerintah, mahasiswa, kaum inteletual, kelompok-kelompok keagamaan, dan kalangan kelas menengah, tidak surut langkah dan tetap bersemangat melakukan kontrol terhadap lembaga parlemen daerah .

DAFTAR PUSTAKA

Salang, Sebastian dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Jakarta: FORMAPPI, 2005.

UU No.4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD.

Soemantri, Sri, Prof. Dr. SH., Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993.